Sabtu, 13 Oktober 2012

Resensi Film Hotel Rwanda

Hotel Rwanda
Film Hotel Rwanda merupakan sebuah film yang ceritanya diangkat berdasarkan kisah nyata yang terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1994. Pada saat itu terjadi konflik yang melibatkan dua kelompok yang bertentangan di Kigali, Rwanda, Afrika, yaitu etnis Hutu dan Tutsi, mengakibatkan hampir satu juta korban tewas. Penelitian ini mencoba melihat praktek terjadinya Komunikasi antar budaya yang ada di Film Hotel Rwanda berdasarkan analisis teori “Perihal Membangun Jembatan” oleh Wilbur Schram, sebagaimana yang dikutip dari buku Komunikasi Antarbudaya yang ditulis oleh Dr. Deddy Mulyana, M.A, dan Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Film tersebut merupakan salah satu refleksi dari realitas yang merepresentasikan adanya tindakan komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda, bahkan dalam satu bangsa sekalipun.
Hotel Rwanda adalah sebuah film drama  berlatar belakang sejarah mengenai Paul Rusesabagina yang menjadi sosok heroic dalam film ini selama peristiwa pembantaian etnis di Rwanda. Dalam film, diperlihatkan ketegangan antara suku Hutu dan Tutsi membawa kepada perang sipil dimana suku Tutsi dibantai karena status tinggi mereka yang berawal dari kesetiaan pada kolonial bangsa Eropa.
Paul Rusesabagina (diperankan oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel Sabena Hôtel des Mille Collines, adalah seorang Hutu namun istrinya, Tatiana (diperankan oleh Sophie Okonedo), adalah seorang Tutsi.
 Pada malam pembantaian, tetangga dan keluarga Paul sangat berharap padanya supaya dapat selamat. Kepemimpinan, kecerdikan dan penyuapan, membuat Paul dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya dari mafia Hutu bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi. Setelah tawar menawar dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan teman, Paul membawa mereka ke hotelnya. Makin banyak pengungsi membanjiri hotelnya dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh pada saat itu. Hotel pun menjadi penuh sesak, Paul mesti berusaha menghalihkan tentara Hutu, peduli terhadap pengungsi, dan menjaga popularitas hotel sebagai hotel high-class.
Penjaga perdamaian PBB, yang dipimpin oleh Kolonel Oliver (diperankan oleh Nick Nolte), tak dapat bertindak apapun melawan Interhamwe, disebabkan mereka dilarang untuk ikut campur dalam masalah pembantaian ini. ketidak-berpihakan PBB terus berlanjut disamping juga kelelahan Oliver dalam menjaga pengungsi Tutsi dan kemarahannya yang mempertanyakan kekuatan barat yang tidak peduli terhada Rwanda.
Sewaktu Interhamwe mengepung hotel, Paul dan keluarganya mulai mengalami stress berat. Pasukan PBB berusaha mengevakuasi kelompok pengungsi, termasuk keluarga Paul. Namun malah berbalik kembali ke hotel, setelah di hadang oleh massa perusuh Hutu dan Interhamwe. Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan pengungsi, Paul berbicara kepada Jenderal Rwanda dan berusaha memerasnya dengan ancaman menjadikan sang jenderal penjahat perang. Bizimungu terpaksa setuju dan kembali ke hotel yang dalam keadaan diserang oleh perusuh dan Interhamwe.
Tentara Bizimungu akhirnya dapat mengakhiri kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri dan keluarganya, berpikir kalau mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila orang-orang Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat keluar dari hotel dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan melewati pengungsi Hutu dan milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan pihak pemberontak Tutsi. Di akhir cerita, Paul menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui, dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.
Dari hasil pengamatan ini dapat diketahui bahwa teori yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm, yaitu ‘perihal membangun jembatan’ penting untuk dilaksanakan pada kondisi seperti ini. Meskipun tanggung jawab pemerintah tidak terlihat dalam film ini, padahal seharusnya teori ini membahas tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya, yaitu personal dan governmental (berkaitan dengan pemerintah) yang tidak terpisah dan juga tidak sejajar. Dalam peristiwa ini dapat diketahui bahwa terjadinya Komunikasi Antar Budaya ketika pertukaran pesan yang tidak kondusif, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, permasalahan, juga konflik, yang dikarenakan adanya perbedaan yaitu diantara suku Hutu dan suku Tutsi dalam hal pekerjaan, ditegaskan lagi dengan adanya kartu identitas yang menyatakan etnis mereka apakah Hutu atau Tutsi.
Dengan adanya pembedaan tersebut, terjadi kesenjangan dalam hal pembagian kekuasaan dan kedudukan dalam kemasyarakatan. Komunikasi antarbudaya akan terjadi dengan disertai paham etnosentrisme, stereotip negatif yang telah ada sebagai bagian dari sejarah perkembangan kehidupan sosial masyarakat Rwanda, sehingga akan menimbulkan permasalahan atau konflik yang menghambat komunikasi yang diinginkan. Konflik ini sebenarnya bisa saja diredam, apabila merujuk pada apa yang dikemukakan dalam teori ‘perihal membangun jembatan’ pada poin jembatan pada sisi individual. Terdapat empat syarat. Syarat pertama, menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi antara Hutu dan Tutsi akan berhasil apabila komunikasi antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi, tanpa membawa bendera kelompok masing-masing. Hal ini terlihat dari hubungan baik yang terjalin antara Paul – yang merupakan seorang Hutu—dengan istrinya maupun tetangga sekitarnya yang merupakan kelompok Tutsi. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa adanya konflik yang melibatkan masalah etnis.
Syarat kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Dengan adanya perasaan saling menghormati, maka kekerasan dapat diredam.
Syarat ketiga, adalah menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Apabila kelompok Hutu dan Tutsi sama-sama menghormati hak masing-masing, maka konflik pun bisa dihindari.
Syarat keempat, komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain. Sejatinya, kelompok Hutu dan Tutsi harus mempunyai rasa toleransi yang tinggi, mengingat mereka berada di Negara yang sama, dan juga berasal dari ras yang sama.
Namun tidak selalu juga perbedaan dalam berkomunikasi antar budaya akan menimbulkan konflik, tetapi komunikasi antarbudaya pun diusahakan untuk meredakan konflik dengan adanya perasaan empati, saling percaya, dan membutuhkan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dengan terciptanya jembatan komunikasi antarbudaya diantara orang-orang Rwanda dengan orang-orang kulit putih atau bangsa Barat yang direpresentasikan oleh tentara PBB, wartawan asing serta turis dari mancanegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar